Friday 25 December 2015

Perkembangan Pesat Masjid Al-Barokah

Oleh: Tika Kania Nurazizah

Hari Senin senja itu langit kelabu Cibiru beradu dengan langkah-langkah kaki yang lelah terkuras kegiatan sehari-hari. Usai menuntaskan Ujian Akhir Semester sore itu, Saya harus bergegas ke Masjid Al-Barokah Margahayu untuk menuntaskan tugas yang lain yaitu tugas peliputan masjid di kawasan Kota Bandung. Beruntungnya, separuh tenaga di senja itu masih cukup untuk mengayuh kaki menuju Masjid yang terletak di Jalan Tata Surya nomor 36 Kelurahan Majahlega Kecamatan Rancasari Margahayu Raya Kota Bandung.

Semua perlengkapan liputan disiapkan, seperti catatan, handphone, dan baris-baris pertanyaan wawancara pun sudah siap. Rasanya semuanya baik-baik saja, namun ternyata --dan untungnya-- Saya menghadapi cucuran gerimis langit Cibiru. “Cukup gerimis saja, tidak lebih”, gumam Saya.
Setelah semua dirasa baik-baik saja, kini saatnya sejenak melemaskan otot kaki dengan duduk santai di dalam angkot Cicadas-Cibiru yang akan mengantarkan Saya menuju pintu gerbang komplek perumahan Margahayu. Angkot itu menebas jalan Soekarno Hatta dengan empat penumpang di dalamnya yang ikut naik dari Bundaran Cibiru. Semburan angin basah membelai dari luar jendela. Tetesan gerimis yang luput terusap di kulit semakin mengundang gigilan. Udara senja itu cukup dingin, meskipun tak sedingin lemari pendingin.

Kurang dari 15 menit Saya sudah menginjakkan kaki di kawasan perumahan Margahayu. Beberapa langkah dari tempat Saya menginjakkan kaki itu, Saya disambut beberapa tukang becak. Salah seorang tukang becak dengan wajah segar dan tubuh kurus menawarkan jasanya. Awalnya Saya berniat berjalan kaki menuju Masjid Al-Barokah, namun menyadari bahwa berjalan kaki menuju masjid harus ditempuh cukup jauh seketika mengingatkan pada pegal yang masih melekat di betis dan persendian kaki. Akhirnya niat itu saya urungkan.

Suara lembut berderik kayuhan becak itu mengiringi sepanjang jalan menuju Masjid. Kurang dari 10 menit akhirnya Saya menginjakkan kaki di pelataran Masjid Al-Barokah. Saya bergegas mencari Ustadz Karim yang sebelumnya sudah berjanji membantu Saya dalam tugas peliputan ini. Ustadz Karim adalah alumni Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menjabat anggota pengurus Dewan Kemakmuran Masjid Al-Barokah.

Tidak lama kemudian mata Saya menangkap sesosok wajah yang dikenal berjalan dari luar masjid menuju pintu masuk sambil memeluk tumpukkan jemuran. Seketika Saya langsung memanggil namanya, “A Karim!”. Sontak Ia terkaget. Ia menoleh. Tumpukkan jemuran yang dibawanya hampir saja melompat dari pelukannya. “Eeh, sugan teh saha”, ucapnya kesal dengan bahasa Sunda yang kental. Saya buru-buru meminta maaf karena sudah mengagetkannya.

Sambil merapihkan jemuran Ia mempersilakan Saya beristirahat di sebuah ruangan di depan masjid. Ruangan itu adalah ruangan khusus bagi anggota Dewan Kemakmuran Masjid Al-Barokah. Di dalam ruangan itu terdapat dua meja besar yang berhadapan, menyisakan ruang di antaranya. Di antara kedua meja tersebut terdapat sebuah lemari berisi tumpukan berkas-berkas masjid.
Tak berapa lama kemudian Ustadz Karim pun masuk. Wawancara pun dimulai. Ustadz Karim mulai menceritakan dari mulai bagaimana sejarah masjid Al-Barokah berdiri, kondisi masjid, hingga kegiatan-kegiatan apa saja yang sudah digelar di Masjid ini.

Masjid yang sebelumnya bernama Yayasan Miftahul Barokah ini berdiri pada tahun 1987 dengan ukuran awal sebesar 8x8 meter persegi . Dengan diketuai oleh H. Undang, Yayasan tersebut berjalan hingga tahun 2000. Pada tahun tersebut Yayasan Miftahul Barokah berganti menjadi Dewan Kemakmuran Masjid Al-Barokah. Seiring pergantian Yayasan tersebut, berganti pula pimpinannya. DKM Al-Barokah kemudian dipimpin oleh H. Ohan Setiawan. Pada tahun 2005 diganti oleh H. Cecep Syarif Bastaman yang memimpin hingga sekarang (2015).

Sebelum didirikan sebuah masjid, tanah tempat berdirinya masjid tersebut sempat mengundang perdebatan di kalangan masyarakat sekitar mengenai “akan didirikan apa di tanah tersebut”. PT Margahayu Land sebagai developer di kawasan Metro menyerahkan sepenuhnya penggunaan tanah tersebut kepada masyarakat. Usulan saling menyambut, mulai dari dijadikan taman, sarana olahraga, hingga tempat ibadah. Setelah dirundingkan bersama melalui hasil voting akhirnya diputuskan bahwa tanah tersebut akan didirikan sebuah tempat ibadah. Maka berdirilah Masjid Al-Barokah seperti saat ini.
Masjid Al-Barokah dibangun di atas tanah seluas 200 meter persegi . Awal berdirinya masjid itu hanya seluas 8x8 meter persegi. Kemudian pada tahun 2009 Masjid Al-Barokah direnovasi untuk memperluas ukuran masjid hingga menjadi 13x13 meter persegi seperti saat ini. Ukuran tersebut belum termasuk pada gazebo di depan masjid. Masjid Al-Barokah memiliki Sembilan ruangan. Dua ruang penyimpanan barang, satu ruang tidur para ustadz, satu ruang utama untuk sholat, satu kantor DKM, dan empat ruang toilet.

Selain itu, Masjid Al-Barokah memiliki tiga pintu; satu di gerbang masuk masjid, satu di ruang utama masjid, dan satunya lagi di samping selatan masjid. Tidak seperti masjid pada umumnya, masjid Al-Barokah tidak memiliki kubah. Namun, empat menara kecil di sudut belakang masjid, dua menara kecil di gerbang pintu masuk, dan tulisan “Masjid Al-Barokah” di gerbang masuk masjid cukup menandakan bahwa bangunan tersebut benar-benar bangunan masjid.

Saya melirik jam dinding persis di atas kepala Ustadz Karim. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 20.30.  Selain pegal di betis dan persendian, tubuh pun dikunjungi lelah. Kantuk merayap dan menggantung di mata. Namun wawancara ini belum selesai. Ada beberapa pertanyaan yang belum dijawab yaitu mengenai DKM, majelis taklim dan kegiatan keagamaan lainnya.
Pada hari Jum’at Masjid Al-Barokah dipenuhi jama’ah yang berjumlah 12 shaf atau 240 jamaah. Pada saat sholat Maghrib jumlah jamaahnya sebanyak 3 shaf atau 60 orang. Pada sholat Shubuh jamaahnya sebanyak 2 shaf atau kurang lebih 40 orang.

Saat ini pengurus Dewan Kemakmuran Masjid Al-B arokah dipimpin oleh Haji Ohan Setiawan. Beliau memimpin lima bidang di bawahnya yaitu Bidang Pendidikan,  Peribadatan dan Dakwah, Bidang Pemeliharaan dan Perlengkapan, Bidang Majelis Taklim, Bidang pembangunan dan Lingkungan Masjid, Bidang Sosial, Bidang Usaha dan Dana, dan Bidang Remaja Masjid. Ustadz Karim sendiri menjabat anggota di Bidang Pendidikan, Peribadatan dan Dakwah bersama Ustadz Ishaq yang sama-sama alumni Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain itu, Haji Ohan Setiawan dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara.

 Di bidang majelis taklim diketuai oleh Hajjah Iis Sofyatie Unang yang memimpin lima bidang di bawahnya, yaitu Bidang Organisasi dan Litbang, Bidang Pendidikan dan Dakwah, Bidang Ekonomi dan Koperasi, Bidang Sosial dan Budaya, dan Bidang Kesehatan dan Lingkungan. Setiap hari Selasa dan Jum’at majelis taklim ini rutin mengadakan pengajian yang diisi oleh Ustadz Sholeh, Ustadz Karim, dan Ustadz Nur.

Selain mengadakan pengajian majelis taklim, pengajian untuk anak-anak pun sering diadakan pada hari Jum’at dan Selasa setiap usai maghrib yang dipimpin oleh Ustadz Karim.
Selama kurun waktu tahun 2015 Masjid Al-Barokah sering mengadakan Peringatan Hari Besar Islam yang diisi oleh mubaligh yang berasal dari Kota Bandung dan luar Kota Bandung, diantaranya adalah Ustadz Kholilullah yang mengisi acara maulid Nabi, KH. Aceng Aujib Nasuha, M.Ag yang mengisi acara Isra’ dan Mi’raj, KH. Asep Sudarman, M.Ag., dan KH. Khoer (Duo Akang) yang mengisi acara Muharram.

Tepat pukul 21.30 akhirnya wawancara itu usai. Dengan sedikit tenaga yang masih tersisa dalam tubuh Saya beranjak dari Masjid Al-Barokah. Tidak lupa pula Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ustadz Karim, atau Saya sering menyapanya A Karim. Beruntungnya, selama perjalanan pulang dari Masjid Al-Barokah tak ada lelehan hujan.

Wednesday 4 November 2015

Review Film The Bang Bang Club

Film ini menceritakan tentang jurnalis fotografi yang berjuang mendapatkan foto terbaik dengan memasuki wilayah konflik masyarakat karena perbedaan ras. Film ini diangkat dari kisah nyata yang di alami empat orang jurnalis fotografi (Greg Marinovich, Joao Silva, Kevin Carter, dan Ken Oesterbtroek) pada tahun 1990-1994. Berkat mereka, peran media pada saat itu sangat penting karena menjadi jembatan informasi dari daerah tersebut kepada dunia. Dari berita yang tidak diketahui dunia menjadi berita yang sangat menggemparkan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa peran media sangat penting dalam penyebaran informasi di dunia.

Dalam film tersebut menunjukkan bahwa penjuangan seorang jurnalis dalam mendapatkan suatu informasi atau berita sangatlah sulit dan penuh perjuangan. Namun karena kerja kerasnya tersebut, perjuangan mereka terbayar dengan penghargaan yang di dapatkan. Salah satunya yang di dapatkan oleh Greg Marinovich mendapatkan Pulitzer dengan karya fotoaya “Zulu Spy 1992” (supporters SAANC burning alive a man) dan Kevin Carter mendapatkan Pulitzer Prize dengan karya fotonya “Bearing Witness 1994” (gadis Sudan kelaparan yang di dekatnya ada burung bangkai sedang menunggu gadis tersebut mati untuk dimakan). Bersamaan dengan penghargaan Pulitzer yang diraih Greg, keempat foto jurnalis tersebut kemudian mendapatkan perhatian yang luas dari banyak media internasional. Perhatian tersebut khususnya datang karena kualitas foto mereka yang mampu mengungkap banyak hal yang sebelumnya tidak diketahui khalayak ramai mengenai peperangan antar suku yang terjadi di Afrika Selatan. Pun begitu, permasalahan pribadi mulai mengintai keempatnya.


Film ini sangat penting bagi perkembangan jurnalis dunia.Karena dalam film ini di gambarkan bagaimana sejatinya pekerjaan seorang jurnalis. Dengan demikian penonton yang menonton film ini sedikitnya akan bisa memahami bagaimana seorang jurnalis dalam bertugas.